Syarah Imrithi (Muqaddimah, Basmalah)
مُقَدِّمَةٌ
يَنْبَغِي لِكُلِّ
شَارِعٍ فِي فَنٍّ مِنَ الْفُنُوْنِ أَنْ يَعْرِفَ حَدَّهُ وَحُكْمَهُ وَمَوْضُوْعَهُ
وَفَائِدَتَهُ إِلَى آخِرِ الْمَبَادِي الْعَشَرَةِ الْمَشْهُوْرَةِ.
Pendahuluan
Sebaiknya setiap orang yang akan
memulai suatu mata pelajaran mengetahui definisi, hukum, objek, faedah, (dan
seterusya) hingga akhir “mabadi” sepuluh yang masyhur.
فَحَدُّ هٰذَا الْفَنِّ
: عِلْمٌ بِأُصُوْلٍ يُعْرَفُ بِهَا أَحْوَالُ أَوَاخِرِ الْكَلِمِ إِعْرَابًا وَبِنَاءً.
Definisi pelajaran ini (nahwu) yaitu
suatu ilmu tentang dasar-dasar untuk mengetahui keadaan-keadaan akhir kata dari
segi i'rab dan bina-nya.
وَحُكْمُهُ : الْوُجُوْبُ
الْكِفَائِيُّ، كَمَا قَالَهُ النَّوَوِيُّ وَغَيْرُهُ.
Hukum
(mempelajari)nya adalah fardhu kifayah, sebagaimana dikatakan oleh an-Nawawi
dan selainnya.
فَإِنْ قِيْلَ : كَيْفَ
يَكُوْنُ فَرْضَ كِفَايَةٍ مَعَ أَنَّ الصَّحَابَةَ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ- مَا قَالُوْهُ،
إِذْ لَوْ كَانَ فَرْضَ كِفَايَةٍ لَمَا تَرَكُوْهُ؟
Jika ada
yang berkata, “Bagaimana hukumnya menjadi fardhu kifayah, padahal para sahabat
RA tidak pernah mengatakannya. Sekiranya hukumnya itu fardhu kifayah tentulah
mereka tidak mengabaikannya?”
أُجِيْبَ : بِمَنْعِ
أَنَّهُمْ مَا قَالُوْهُ. وَعَلَى تَسْلِيْمِ أَنَّهُمْ مَا قَالُوْهُ نَقُوْلُ :
كَانَ مَرْكُوْزًا فِي طَبَائِعِهِمْ، فَمَا فَاتَهُمْ إِلاَّ مُجَرَّدُ الْاِصْطِلاَحَاتِ.
Dijawab:
tidaklah benar anggapan bahwa para sahabat
tidak mengatakannya. Dan atas diterimanya anggapan bahwa mereka tidak
mengatakannya, kami berkomentar, “Hal itu telah tertanam dalam hati sanubari
mereka, yang tidak ada dari mereka hanyalah pengistilahannya saja”.
وَمَوْضُوْعُهُ :
الْكَلِمَاتُ الْعَرَبِيَّةُ.
Objek
(yang dibahas)nya adalah kata-kata berbahasa Arab.
وَفَائِدَتُهُ : صَوْنُ
اللِّسَانِ عَنِ الْخَطَأِ فِي الْكَلاَمِ، وَالْاِسْتِعَانَةُ بِهِ عَلَى فَهْمِ
كَلاَمِ اللهِ تَعَالَى وَكَلاَمِ رَسُوْلِهِ.
Faedahnya
adalah menjaga lisan dari kesalahan dalam perkataan, dan dengannya dapat
membantu dalam memahami kalam Allah Ta’ala (Al-Qur’an) dan kalam Rasul-Nya
(al-Hadits).
وَهَا أَنَا أَشْرَعُ
فِي الْمَقْصُوْدِ بِعَوْنِ الْمَلِكِ الْمَعْبُوْدِ، فَأَقُوْلُ -وَبِاللهِ التَّوْفِيْقُ-
:
Sekarang
saya akan masuk dalam isi (tujuan) dengan pertolongan (Allah) Raja yang
disembah. Dan dengan taufiq Allah, saya berkata :
قَدِ افْتَتَحَ النَّاظِمُ
-رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى- بِالْبَسْمَلَةِ حَيْثُ قَالَ : (بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ
الرَّحِيْمِ) اقْتِدَاءً بِالْكِتَابِ الْعَزِيْزِ وَعَمَلاً بِخَبَرِ : (كُلُّ أَمْرٍ
ذِيْ بَالٍ لاَ يُبْدَأُ فِيْهِ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ فَهُوَ أَبْتَرُ)،
وَفِي رِوَايَةٍ : (فَهُوَ أَقْطَعُ)، وَفِي رِوَايَةٍ : (فَهُوَ أَجْذَمُ).
Pengarang
nazham -Semoga Allah Ta’ala merahmatinya- memulai dengan basmalah, dimana
beliau berkata, “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang”, karena
(beliau) mengikuti al-Kitab yang mulia (al-Qur’an) dan mengamalkan hadits:
“Setiap perkara yang dinilai penting (dalam syara’) yang tidak dimulai dengan
Bismillahir rahmanir rahim, maka menjadi cacat”. Dalam riwayat lain, “fahuwa
aqtha’u”, dan riwayat lainnya “fahuwa ajdzamu”.
وَالْمَعْنَى عَلَى
كُلٍّ : أَنَّهُ نَاقِصٌ وَقَلِيْلُ الْبَرَكَةِ، لِأَنَّهُ وَإِنْ تَمَّ حِسًّا
لاَ يَتِمُّ مَعْنًى.
Makna
semua (riwayat) itu adalah bahwasanya perkara tersebut kurang dan sedikit
berkahnya. Karena (perkara yang tidak dimulai dengan basamalah), meskipun sempurna lahirnya, namun
tidak sempurna secara makna/hakikatnya.
وَلاَ يُعَارِضُ ذٰلِكَ
خَبَرَ : (كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لاَ يُبْدَأُ فِيْهِ بِالْحَمْدُ لِلَّهِ الخ)،
لِأَنَّ الْاِبْتِدَاءَ نَوْعَانِ : حَقِيْقِيٌّ، وَهُوَ الْاِبْتِدَاءُ بِمَا تَقَدَّمَ
أَمَامَ الْمَقْصُوْدِ وَلَمْ يَسْبِقْهُ شَيْءٌ، وَإِضَافِيٌّ، وَهُوَ الْاِبْتِدَاءُ
بِمَا تَقَدَّمَ أَمَامَ الْمَقْصُوْدِ وَإِنْ سَبَقَهُ شَيْءٌ.
Hadits
tersebut tidaklah kontradiktif dengan hadits “Setiap perkara yang dinilai
penting (dalam syara’) yang tidak dimulai dengan Al-Hamdulillah …” hingga akhir
hadits. Karena memulai itu ada dua macam. 1) Haqiqi, yaitu memulai sesuatu yang
terletak di awal (pendahuluan) sebelum tujuan/isi (yang akan
disampaikan) dan
tidak didahului oleh sesuatu apapun. 2) Idhafi, yaitu memulai sesuatu yang
terletak di awal sebelum isi/tujuan meskipun didahului oleh sesuatu.
وَعَلَى الْأَوَّلِ
حُمِلَ حَدِيْثُ الْبَسْمَلَةِ، وَعَلَى الثَّانِي حُمِلَ حَدِيْثُ الْحَمْدَلَةِ،
وَلَمْ يُعْكَسْ عَمَلاً بِالْإِجْمَاعِ.
Atas
pengertian pertama (ibtida haqiqi) itulah hadits basmalan ditafsirkan, dan atas
pengertian kedua (ibtida idhafi) hadits hamdalah ditafsirkan, dan tidak boleh
dibalik, karena (ini) mengamalkan kesepakatan (ulama).
وَالْجَارُّ وَالْمَجْرُوْرُ
مُتَعَلِّقٌ بِمَحْذُوْفٍ، وَالْأَوْلَى تَقْدِيْرُهُ فِعْلاً خَاصًّا مُؤَخَّرًا،
وَهٰذَا عَلَى مَا هُوَ الصَّحِيْحُ مِنْ أَنَّ الْبَاءَ حَرْفُ جَرٍّ أَصْلِيٌّ.
وَقِيْلَ : زَائِدَةٌ لاَ تَتَعَلَّقُ بِشَيْءٍ.
Jar
Majrur (dalam bismillah) berkaitan dengan kalimat/kata yang dibuang. Yang
paling pantas, kata yang dibuang itu diperkirakan berupa fiil tertentu yang diakhirkan (penyebutannya).
Ini berdasarkan pendapat yang shahih bahwa ba’ itu huruf jar asli. Dan ada yang
mengatakan, (itu) ba’ tambahan, tidak berkaitan dengan sesuatu apapun.
وَعَلَى الْأَوَّلِ
فَـ«اسْمِ» مَجْرُوْرٌ بِالْبَاءِ،
وَعَلاَمَةُ جَرِّهِ كَسْرَةٌ ظَاهِرَةٌ فِي آخِرِهِ، وَعَلَى الثَّانِي فَـ«اسْمِ» مُبْتَدَأٌ مَرْفُوْعٌ
بِضَمَّةٍ مُقَدَّرَةٍ عَلَى آخِرِهِ مَنَعَ مِنْ ظُهُوْرِهَا اشْتِغَالُ الْمَحَلِّ
بِالْحَرَكَةِ الَّتِي اجْتَلَبَهَا حَرْفُ الْجَرِّ الزَّائِدُ، وَالْخَبَرُ مَحْذُوْفٌ
تَقْدِيْرُهُ: مَبْدُوْءٌ بِهِ.
Berdasarkan
pendapat pertama (ba’: huruf jar asli) maka kata “ism” dijarkan oleh ba’, dan
tanda jarnya adalah kasrah zhahirah (:tampak) di akhirnya. Dan berdasarkan
pendapat kedua (ba: tambahan) maka kata “ism” dirafa’kan dengan tanda dhammah muqaddarah (:tidak tampak) di
akhirnya. Kenampakannya terhalangi oleh terpakainya tempat (dhammah) untuk harakat yang dituntut oleh huruf jar tambahan (yakni kasrah). Dan khabarnya dibuang, takdir
(perkiraan)nya: mabdu’un bih (:dimulai).
وَلَفْظُ الْجَلاَلَةِ
مَجْرُوْرٌ بِالْمُضَافِ عَلَى الرَّاجِحِ، وَقِيْلَ: بِالْإِضَافَةِ، وَقِيْلَ: بِحَرْفِ
الْجَرِّ الْمُقَدَّرِ. وَعَلاَمَةُ جَرِّهِ كَسْرَةٌ ظَاهِرَةٌ فِي آخِرِهِ.
Lafal jalalah
dijarkan (majrur) sebab mudhaf, (ini) menurut pendapat yang kuat. Ada yang
berpendapat: sebab idhafah. Dan ada yang berpendapat: sebab huruf jar yang
tidak tampak (muqaddar). Tanda jar (pada lafal jalalah) yaitu kasrah zhahirah
di akhirnya.
وَ«الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ»
يَجُوْزُ جَرُّهُمَا وَهُوَ مُتَعَيِّنٌ قِرَاءَةً. وَيَجُوْزُ أَيْضًا رَفْعُهُمَا،
وَنَصْبُهُمَا، وَرَفْعُ الْأَوَّلِ مَعَ نَصْبِ الثَّانِي وَالْعَكْسُ، وَجَرُّ
الْأَوَّلِ مَعَ رَفْعِ الثَّانِي أَوْ نَصْبِهِ. فَهٰذِهِ سَبْعَةُ أَوْجُهٍ، وَبَقِيَ
وَجْهَانِ آخَرَانِ وَهُمَا رَفْعُ الْأَوَّلِ أَوْ نَصْبُهُ مَعَ جَرِّ الثَّانِي،
فَقِيْلَ: يَمْتَنِعَانِ لِمَا فِيْهِمَا مِنَ الْقَطْعِ ثُمَّ الْإِتْبَاعِ، وَلِذٰلِكَ
قَالَ بَعْضُهُمْ:
إِنْ يَنْصِبِ
الرَّحْمٰنَ أَوْ يَرْتَفِعَا
|
|
فَالْجَرُّ فِي
الرَّحِيْمِ قَطْعًا مُنِعَا
|
وَإِنْ يَجُرَّ فَأَجِزْ
فِي الثَّانِي
|
|
ثَلاَثةَ الْأَوْجُهِ
خُذْ بَيَانِي
|
فَهٰذِهِ تَضَمَّنَتْ
تِسْعًا مُنِعْ
|
|
وَجْهَانِ مِنْهَا
فَادْرِ هٰذَا وَاسْتَمِعْ
|
لٰكِنِ الصَّحِيْحُ جَوَازُهُمَا، فَكَانَ عَلَى
النَّاظِمِ أَنْ يَقُوْلَ فِي الشَّطْرِ الثَّانِي مِنَ الْبَيْتِ الْأَوَّلِ: «فَالْجَرُّ
فِي الرَّحِيْمِ وَجْهًا مُنِعَا».
Lafal
“ar-rahmanir-rahimi” boleh: (1) dijarkan keduanya, dan ini nyata bacaannya. Dan
boleh pula: (2) dirafa’kan keduanya, (3) dinasabkan keduanya, (4) dirafa’kan
lafal pertama serta dinasabkan lafal kedua, (5) kebalikannya (dinasabkan lafal
pertama serta dirafa’kan lafal kedua, (6) dijarkan lafal pertama serta
dirafa’kan lafal kedua, atau (7) dijarkan lafal pertama serta dinasabkan lafal
kedua. Inilah tujuh cara baca (pada “ar-rahman ar-rahim”). Tersisa dua cara
baca lainnya, yaitu: (1) dirafa’kan lafal pertama serta dijarkan lafal kedua,
dan (2) dinasabkan lafal pertama serta dijarkan lafal kedua. Namun ada yang
berpendapat: (kedua pendapat ini) tidak dibenarkan karena terdapat qatha’
(memutus hubungan i’rab) kemudian itba’ (mengikutkannya) kembali. Karena
(alasan) itulah sebagian pakar nahwu berkata:
- Jika seseorang menasabkan lafal
“ar-rahman” atau dibaca rafa maka menjarkan pada lafal “ar-rahim pasti dilarang.
- Dan jika ia menjarkan (lafal
“ar-rahim”) maka perbolehkanlah (baginya) 3 cara baca pada yang kedua (lafal
“ar-rahim”). Maka Ambillah penjelasanku (ini).
- Hal ini mengandung 9 (cara baca),
dua di antaranya dilarang. Maka ketahuilah ini dan perhatikanlah.
Tetapi
pendapat yang shahih adalah boleh keduanya. Maka seharusnya Nazhim (penyusun
nazham di atas) berkata di bagian kedua pada bait pertama: “maka menjarkan pada
lafal “ar-rahim dilarang menurut pendapat yang lain”.
Alhamdulillah.. Terimakasih banyak ustadz..🙏🏻 Semoga Bermanfaat.. Aamiin..
BalasHapus