Syarah Imrithi (Alhamdu lillah)
(اَلْحَمْدُ لِلَّهِ) أَيْ مُخْتَصٌّ
أَوْ مُسْتَحَقٌّ أَوْ مَمْلُوْكٌ، فَاللاَّمُ لِلْاِخْتِصَاصِ أَوْ لِلْاِسْتِحْقَاقِ
أَوْ لِلْمِلْكِ. وَعَلَى كُلٍّ فَأَلْ إِمَّا لِلْجِنْسِ أَوْ لِلْاِسْتِغْرَاقِ
أَوْ لِلْعَهْدِ، فَالْاِحْتِمَالاَتُ تِسْعَةٌ قَائِمَةٌ مِنْ ضَرْبِ ثَلاَثَةٍ فِي
ثَلاَثَةٍ، لٰكِنِ الْأَوْلَى جَعْلُ اللاَّمِ لِلْاِخْتِصَاصِ وَأَلْ لِلْجِنْسِ.
(Segala puji bagi Allah) yakni
khusus bagi Allah, menjadi hak Allah, atau milik Allah. Huruf “Lam” bisa bermakna
“ikhtiṣāṣ,
“istiḥqāq”, atau “milk”. Atas dasar semua penafsiran tersebut maka “Al” (pada
kata “alhamdu”) bermakna lil-jinsi (jenis), lil-istigrāq (seluruh), atau
lil-‘ahdi (yang dimaksud). Maka kemungkinan maknanya ada sembilan, sebagai
hasil dari mengalikan 3 (kemungkinan penafsiran “Al”) dengan 3 (kemungkinan
makna “Lam”). Tetapi yang utama adalah menjadikan “Lam” lil- ikhtiṣāṣ, dan “Al”
lil-jinsi.
وَإِنَّمَا عَدَلَ
عَنِ الْجُمْلَةِ الْفِعْلِيَّةِ إِلَى الْجُمْلَةِ الْاِسْمِيَّةِ، لِأَنَّهَا تَدُلُّ
عَلَى الدَّوَامِ وَالْاِسْتِمْرَارِ. وَوَجْهُ الْعُدُوْلِ أَنَّ الْأَصْلَ: حَمْدًا
لِلَّهِ أَيْ حَمِدْتُ حَمْدًا لِلَّهِ، فَأُدْخِلَتْ أَلْ عَلَى الْمَصْدَرِ وَرُفِعَ
فَصَارَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ.
Sesungguhnya beliau (penyusun naẓam) berpaling/beralih
dari jumlah fi’liyah ke jumlah ismiyah hanya karena jumlah ismiyah menunjukkan
terus-menerus. Bentuk peralihannya yaitu: “ḥamdan lillāhi” yakni “ḥamidtu ḥamdan
lillāhi”, lalu dimasukkan “Al” pada maṣdar dan dirafa’kan, maka menjadi “al-ḥamdu
lillāhi”.
(ٱلَّذِيْ قَدْ
وَفَّقَا) بِأَلِفِ الْإِشْبَاعِ. وَ«قَدْ» هُنَا لِلتَّحْقِيْقِ، وَيُحْتَمَلُ
أَنَّهَا لِلتَّقْلِيْلِ لِمَا اشْتَهَرَ مِنْ أَنَّ التَّوْفِيْقَ عَزِيْزٌ. وَالتَّوْفِيْقُ:
خَلْقُ قُدْرَةِ الطَّاعَةِ فِي الْعَبْدِ، وَتَسْهِيْلُ سَبِيْلِ الْخَيْرِ إِلَيْهِ.
وَمِنَ الْقَوَاعِدِ الْمُقَرَّرَةِ أَنَّ الْمَوْصُوْلَ وَصِلَتَهُ فِي قُوَّةِ
الْمُشْتَقِّ، فَكَأَنَّهُ قَالَ: الْمُوَفِّقِ.
(Yang sungguh telah memberi taufiq),
Kata “waffaqa” ditambah alif isybā’ (alif untuk memanjangkan bacaan yang
semestinya tidak panjang, tapi karena tuntutan syair). Kata “qad” di sini
bermakna “sungguh”. Ada kemungkin “qad” lit-taqlīl (sedikit/jarang) karena
telah masyhur bahwa (mendapatkan) taufiq itu jarang adanya. Taufiq yaitu
diciptakannya kemampuan berbuat taat pada seorang hamba dan dimudahkannya jalan
kebaikan baginya. Di antara kaidah-kaidah yang telah ditetapkan yaitu bahwa
isim mauṣūl dan ṣilah-nya bermakna isim musytaq, seakan-akan beliau
berkata: “yang memberi taufiq/pemberi taufiq”.
(لِلْعِلْمِ)
الشَّرْعِيِّ كَعِلْمِ التَّفْسِيْرِ وَالْحَدِيْثِ وَنَحْوِهِمَا. (خَيْرَ)
بِالنَّصْبِ عَلَى الْمَفْعُوْلِيَّةِ، وَهُوَ أَفْعَلُ تَفْضِيْلٍ، فَأَصْلُهُ: أَخْيَرُ،
خُذِفَتْ مِنْهُ الْهَمْزَةُ لِلتَّخْفِيْفِ وَنُقِلَتْ حَرَكَةُ الْيَاءِ لِلسَّاكِنِ
قَبْلَهَا فَصَارَ خَيْرَ. (خَلْقِهِ) أَيْ مَخْلُوْقِهِ، فَالْمَصْدَرُ بِمَعْنَى
اسْمِ الْمَفْعُوْلِ مَجَازًا بِحَسَبِ الْأَصْلِ لٰكِنْ صَارَ حَقِيْقَةً عُرْفِيَّةً،
وَلاَ يَخْفَى أَنَّ قَوْلَهُ: «خَيْرَ خَلْقِهِ» فَاصِلٌ بَيْنَ الْمُتَعَاطِفَيْنِ،
أَعْنِي قَوْلَهُ: «لِلْعِلْمِ». (وَلِلتُّقَى) اسْمٌ مِنَ التَّقْوَى، وَهِيَ:
امْتِثَالُ الْمَأْمُوْرَاتِ وَاجْتِنَابُ الْمَنْهِيَّاتِ.
(kepada sebaik-baik makhluk, untuk memperoleh ilmu dan
ketakwaan). Yakni ilmu syar’i seperti
ilmu tafsir, hadis dan semisalnya. Lafal “khaira” dibaca nasab menjadi maf‘ūl
bih. “Khaira” merupakan isim tafḍīl (wazan: af‘al),
asalnya: “akhyar(u)”, dibuanglah hamzahnya untuk meringankan pengucapan, dan
dipindahlah harakat huruf “ya” ke huruf yang sukun sebelum “ya” (yakni huruf
kha), lalu menjadi: “khaira”. Bentuk maṣdar di sini (yakni khalqi=ciptaan)
bermakna isim maf‘ūl (yakni makhlūq=yang diciptakan) sebagai makna majaz menurut
asalnya, tetapi menjadi makna yang sesungguhnya (bukan majaz) menurut
istilah/’urf (pemakaian). Tidaklah samar bahwa perkataan “khaira khalqihi” itu
memisah antara dua lafal yang dihubungkan dengan huruf ‘athaf. Maksud saya:
perkataan “lil-‘ilmi” dan “wa lit-tuqā”.
Kata “tuqā” adalah isim berasal dari kata “taqwā”. Takwa yaitu
melaksanakan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala yang dilarang.
ثُمَّ فَرَّعَ عَلَى
ذٰلِكَ مَا ذَكَرَهُ بِقَوْلِهِ: (حَتَّى نَحَتْ) أَيْ قَصَدَتْ (قُلُوْبُهُمْ)
أَيْ قُلُوْبُ خَلْقِهِ، وَالْقُلُوْبُ جَمْعُ قَلْبٍ، وَهُوَ: لَحْمٌ صَنَوْبَرِيُّ
الشَّكْلِ، وَسُمِّيَ قَلْبًا لِتَقَلُّبِهِ. (لِنَحْوِهِ) أَيْ لِجِهَتِهِ،
فَمِنْ مَعَانِي النَّحْوِ: الْجِهَةُ، وَقَدْ نَظَمَهَا بَعْضُهُمْ فِي بَيْتٍ فَقَالَ:
قَصْدٌ وَمِثْلٌ
جِهَةٌ مِقْدَارُ * قِسْمٌ وَبَعْضٌ قَالَهُ الْأَخْيَارُ
وَالضَّمِيْرُ لِلَّهِ
تَعَالَى، وَكَذٰلِكَ الضَّمِيْرُ فِي قَوْلِهِ: (فَمِنْ عَظِيْمِ شَأْنِهِ)
وَالْإِضَافَةُ فِي ذٰلِكَ مِنْ إِضَافَةِ الصِّفَةِ لِلْمَوْصُوْفِ، وَالْأَصْلُ:
فَمِنْ شَأْنِهِ الْعَظِيْمِ. (لَمْ تَحْوِهِ) أَيْ لَمْ تُحِطْ بِهِ. وَفِي
ذٰلِكَ تَقْدِيْمُ الْعِلَّةِ عَلَى الْمَعْلُوْلِ، وَعُلِمَ مِنْ ذٰلِكَ أَنَّ «مِنْ»
هُنَا لِلتَّعْلِيْلِ.
Kemudian atas itulah penyusun nazham merincikan apa yang
telah beliau sebutkan dengan perkataan: (sehingga hati makhluk
menuju/mendekat ke hadirat-Nya). Kata “qulūb” merupakan bentuk
jamak kata “qalb”. Qalbu (hati) yaitu daging berbentuk bulat mengerucut. Disebut
“qalbu” karena bersifat bolak balik/berubah-ubah. Di antara makna “naḥwu”
adalah arah. Sebagian pakar naḥwu membuat syair tentang makna “naḥwu” dalam
sebuah bait. Mereka berkata:
-
(1) tujuan, (2) serupa, (3) arah, (4) kadar, dan (5) bagian. Sebagian makna
lainnya dikatakan oleh orang-orang pilihan.
Ḍamir (pada lafal “linaḥwihi”) kembali kepada Allah
Ta‘ala. Demikian pula ḍamir pada perkataan “fa min ‘aẓīmi sya’nihi”.
(Namun karena agungnya zat Allah Swt). Iḍāfat pada lafal
tersebut termasuk “iḍāfatuṣ-ṣifah lil-mauṣūf”. Asalnya: “fa min sya’nihil aẓīmi”
artinya karena zat-Nya yang agung.
(hati mereka tetap tidak dapat menguasai kehendak-Nya). Di kalimat tersebut (“fa min ... lam taḥwihi”)
didahulukan penyebutan sebab atas akibat. Dari itu dapat diketahui bahwa lafal
“min” di sini bermakna sebab/karena.
(فَـ)بِسَبَبِ تَوْفِيْقِهِمْ لِلْعِلْمِ
وَلِلتُّقَى (أُشْرِبَتْ) بِالْبِنَاءِ لِلْمَفْعُوْلِ الَّذِيْ هُوَ ضَمِيْرُ
الْقُلُوْبِ، أَيْ أُدْخِلَ فِيْهَا وَتَدَاخَلَهَا حُبُّ (مَعْنَى ضَمِيْرِ
الشَّانِ) كَمَا يَتَدَاخَلُ الثَّوْبُ الصِّبْغَ، وَكَمَا يَمْتَزِجُ اللَّوْنُ
بِاللَّوْنِ، يُقَالُ: بَيَاضٌ مُشْرَبٌ بِحُمْرَةٍ إِذَا امْتَزَجَ الْبَيَاضُ بِهَا
وَاخْتَلَطَ. وَضَمِيْرُ الشَّأْنِ هُوَ الْمَذْكُوْرُ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿ فَاعْلَمْ
أَنَّهُ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ ﴾، فَإِنَّ الضَّمِيْرَ فِي ذٰلِكَ ضَمِيْرُ الشَّأْنِ
مَعْنَاهُ: كَلِمَةُ التَّوْحِيْدِ. (فَـ) بِسَبَبِ ذٰلِكَ الْإِشْرَابِ (أُعْرِبَتْ)
أَيْ بُيِّنَتْ ضَمِيْرُهَا (فِي الْحَانِ) أَيْ الْحَانَةِ وَهِيَ حَانُوْتُ
الْخَمَّارِ (بِالْأَلْحَانِ) وَهِيَ نَغَمَاتُ الْأَوْتَارِ. وَالْمُرَادُ
بِالْحَانَةِ هُنَا مَقَامُ الْمَحَبَّةِ أَوْ حَضْرَةُ الرَّبِّ الَّتِي يَسْقِي
مَنْ دَخَلَهَا مِنَ الرَّحِيْقِ الْمَخْتُوْمِ، فَيُدْرِكُ كُلَّ سِرٍّ فِي الْكَوْنِ
مَكْتُوْمٍ.
Dengan sebab mereka
diberi taufik untuk memperoleh ilmu dan ketakwaaan, (maka hati mereka
bercampur dengan makna “ḍamir sya’n” yakni kalimat tauhid). Lafal
“usyribat” dibaca dengan bentuk majhūl, yang menjadi nā’ibul fā‘il-nya adalah ḍamir
bermakna “qulūb”. Yakni kecintaan terhadap makna kalimat tauhid telah
dimasukkan ke dalam hati mereka dan menyatu/meresap, sebagaimana pakaian
menyatu dengan pewarna pakaian, dan seperti halnya warna bercampur dengan warna
lainnya. Dikatakan: “bayāḍun musyrabun bi ḥumratin” bila maknanya warna putih
bercampur padu dengan warna merah. Ḍamir sya’n yaitu ḍamir yang disebutkan
dalam firman Allah Ta‘ala: “maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tiada tuhan
selain Allah”. Maka ḍamir pada lafal “annahu” adalah ḍamir sya’n yang maknanya
kalimat tauhid.
Dengan sebab pencampuran
tersebut (maka hati mereka diterangkan berada pada maqam maḥabbah yang
diibaratkan kedai arak dengan lagu-lagu dan musiknya). Lafal “fil-ḥāni”
sebenarnya “fil-ḥānati”. Ḥānah artinya kedai penjual arak. Lafal “alḥān”
artinya suara indah berasal dari senar alat musik. Yang dimaksud dengan “ḥānah”
adalah maqam maḥabbah, atau hadirat Tuhan yang memberikan minuman dari khamar
murni yang disegel kepada orang yang telah memasuki maqam tersebut, sehingga ia
dapat mengetahui setiap rahasia yang tersembunyi di alam ini.
وَقَدْ عَطَفَ النَّاظِمُ عَلَى جُمْلَةِ الْحَمْدَلَةِ
جُمْلَةَ الصَّلاَةِ وَالسَّلاَمِ بِـ«ثُمَّ» الْمُفِيْدَةِ لِلتَّرْتِيْبِ وَالتَّرَاخِي،
إِشَارَةً إِلَى أَنَّ رُتْبَةَ مَا يَتَعَلَّقُ بِالْمَخْلُوْقِ مُتَرَاخِيَةٌ عَنْ
رُتْبَةِ مَا يَتَعَلَّقُ بِالْخَالِقِ فَقَالَ: (ثُمَّ الصَّلاَةُ) أَيْ
الرَّحْمَةُ الْمَقْرُوْنَةُ بِالتَّعْظِيْمِ (مَعْ سَلاَمٍ) أَيْ تَحِيَّةٍ
وَإِعْظَامٍ (لاَئِقِ) بِجَنَابِهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لِأَنَّ مَا يُعْطِيْهِ اللهُ لِنَبِيِّهِ يَزِيْدُ عَلَى
جَمِيْعِ مَا يُعْطِيْهِ لِأَهْلِ عِنَايَتِهِ. وَالصَّلاَةُ اسْمُ مَصْدَرٍ لِـ«صَلَّى»،
وَالْمَصْدَرُ: التَّصْلِيَةُ، وَلَمْ يُعَبِّرْ بِهَا لِإِيْهَامِهَا الْعَذَابَ.
وَالسَّلاَمُ اسْمُ مَصْدَرٍ لِـ«سَلَّمَ»، وَالْمَصْدَرُ: التَّسْلِيْمُ، وَلَمْ
يُعَبِّرْ بِهِ لِمُنَاسَبَةِ الصَّلاَةِ؛ وَإِنَّمَا قَرَنَ بَيْنَهُمَا لِكَرَاهَةِ
إِفْرَادِ أَحَدِهِمَا عَنِ الْآخَرِ عِنْدَ الْمُتَأَخِّرِيْنَ.
Penyusun naẓam
mengatafkan kalimat “ṣalawat dan salam” ke kalimat “ḥamdalah” dengan lafal “ṡumma”
yang menunjukkan makna tertib/urutan disertai jeda, sebagai isyarat bahwa
tingkat/derajat yang berkaitan dengan makhluk itu diakhirkan/dibelakangkan dari
tingkat/derajat yang berkaitan dengan sang pencipta.
Beliau berkata: (Kemudian
ṣalawat) yakni rahmat yang disertai pengagungan (serta salam) yakni
penghormatan dan pengagungan (yang layak) di sisi Nabi Saw, karena apa
yang Allah kepada nabi-Nya itu melebihi apa yang diberikan-Nya kepada
orang-orang (biasa) yang mendapat pertolongan-Nya. Lafal “aṣ-ṣalah” merupakan
isim maṣdar bagi lafal “ṣallā”, sedangkan bentuk maṣdarnya yaitu “at-taṣliyah”,
dan penyusun nazam tidak menggunakan lafal “at-taṣliyah” karena dianggap
bermakna siksaan. Lafal “as-salām” merupakan isim maṣdar bagi lafal “sallama”,
sedangkan bentuk maṣdarnya yaitu “at-taslīm”, dan penyusun naẓam tidak
menggunakan lafal “at-taslīm” supaya sesuai dengan lafal “aṣ-ṣalah”.
Sesungguhnya penyusun naẓam menghimpunkan keduanya (ṣalawat dan salam) karena
menurut ulama muta’akh-khirin makruh menyendirikan/memisahkan salah satunya
dari yang lain.
(عَلَى النَّبِيِّ) بِالتَّشْدِيْدِ وَيَجُوْزُ تَرْكُهُ مَعَ
الْهَمْزِ، وَهُوَ فَعِيْلٌ إِمَّا بِمَعْنَى فَاعِلٍ أَوْ مَفْعُوْلٍ. وَعَبَّرَ
بِهِ دُوْنَ الرَّسُوْلِ لِأَنَّهُ أَكْثَرُ وُرُوْدًا فِي الْقُرْآنِ، وَبَعْضُهُمْ
يَخْتَارُ التَّعْبِيْرَ بِالرَّسُوْلِ دُوْنَ النَّبِيِّ لِأَنَّ الرِّسَالَةَ أَفْضَلُ
مِنَ النُّبُوَّةِ، خِلاَفًا لِلْعِزِّ بْنِ عَبْدِ السَّلاَمِ. (أَفْصَحِ الْخَلاَئِقِ)
أَيْ أَشَدِّهِمْ فَصَاحَةً، لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَنَا
أَفْصَحُ مَنْ نَطَقَ بِالضَّادِ». وَالْفَصَاحَةُ يُوْصَفُ بِهَا الْمُتَكَلِّمُ وَالْكَلاَمُ
وَالْكَلِمَةُ، فَيُقَالُ: مُتَكَلِّمٌ فَصِيْحٌ، وَكَلاَمٌ فَصِيْحٌ، وَكَلِمَةٌ
فَصِيْحَةٌ؛ بِخِلاَفِ الْبَلاَغَةِ، فَإِنَّهَا يُوْصَفُ بِهَا الْمُتَكَلِّمُ وَالْكَلاَمُ
دُوْنَ الْكَلِمَةِ، فَيُقَالُ: مُتَكَلِّمٌ بَلِيْغٌ، وَكَلاَمٌ بَلِيْغٌ، وَلاَ
يُقَالُ: كَلِمَةٌ بَلِيْغَةٌ. وَمَعْنَى فَصَاحَةِ الْمُتَكَلِّمِ: قُدْرَتُهُ عَلَى
الْإِتْيَانِ بِكَلاَمٍ فَصِيْحٍ، وَمَعْنَى فَصَاحَةِ كُلٍّ مِنَ الْكَلاَمِ وَالْكَلِمَةِ:
خُلُوُّهُ مِنَ التَّنَافُرِ وَالْحَشْوِ وَالتَّعْقِيْدِ، وَمَعْنَى بَلاَغَةِ الْمُتَكَلِّمِ:
قُدْرَتُهُ عَلَى الْإِتْيَانِ بِكَلاَمٍ بَلِيْغٍ، وَمَعْنَى بَلاَغَةِ الْكَلاَمِ:
مُطَابَقَتُهُ لِمُقْتَضَى الْحَالِ مَعَ فَصَاحَتِهِ.
(atas Nabi) Lafal “an-nabiy” dibaca dengan tasydid (pada huruf ya’),
boleh juga tanpa tasydid disertai huruf hamzah. Lafal “nabiy” berwazan “fa‘īl”,
bisa bermakna isim fā‘il ataupun isim maf‘ūl. Penyusun naẓam menggunakan lafal
“nabiy” bukan lafal “rasūl” karena lafal “nabiy” lebih banyak ditemukan dalam
al-Qur’an. Sedangkan sebagian ulama memilih menggunakan lafal “rasūl” bukan
lafal “nabiy” karena kerasulan itu lebih afḍal/utama dari kenabian, berbeda
dengan pendapat ‘Iz bin Abdis Salam.
(makhluk yang
paling fasih) yakni yang sangat
fasih. (Ini) berdasarkan sabda Nabi Saw. “Akulah orang yang paling fasih
mengucapkan huruf ḍad”. Faṣāḥah (kefasihan) itu digunakan untuk menyifati
mutakallim (pembicara), kalām (kalimat), dan kalimah (kata). Maka bisa
dikatakan: “mutakallim faṣīḥ”, “kalām faṣīḥ”, dan “kalimah faṣīḥah”. Berbeda
dengan “balāgah”, maka ia digunakan untuk menyifati “mutakallim” dan “kalām”
saja, tidak untuk “kalimah”. Maka bisa dikatakan: “mutakallim balīg” dan “kalām
balīg”, namun tidak bisa dikatakan: “kalimah balīgah”. Arti “faṣāḥatul mutakallim”
yaitu kemampuannya untuk mendatangkan/membuat kalam yang fasih. Dan arti dari “faṣāḥatul
kalam” dan “faṣāḥatul kalimah” adalah terbebasnya dari unsur tanāfur, hasywu,
dan ta‘qīd. Arti “balāgatul mutakallim” yaitu kemampuannya untuk
mendatangkan/membuat kalām yang balig. Dan arti “balāgatul kalām” yaitu
kesesuaiannya dengan tuntutan keadaan disertai kefasihan kalamnya.
(مُحَمَّدٍ) يَجُوْزُ فِيْهِ أَوْجُهُ
الْإِعْرَابِ الثَّلَاثَةُ، لٰكِنِ
الرَّسْمُ لَا يُسَاعِدُ النَّصْبَ إِلَّا عَلَى طَرِيْقَةِ مَنْ يَرْسُمُ الْمَنْصُوْبَ
بِصُوْرَةِ الْمَرْفُوْعِ وَالْمَجْرُوْرِ. وَأَوْلَى الثَّلَاثَةِ الْجَرُّ بَدَلًا
أَوْ عَطْفَ بَيَانٍ لَا نَعْتًا؛ لِأَنَّهُ عَلَمٌ، وَاْلعَلَمُ لَا يُنْعَتُ بِهِ.
نَعَمْ، يَصِحُّ أَنْ يَكُوْنَ نَعْتًا بِالنَّظَرِ لِأَصْلِهِ؛ لِأَنَّهُ فِي الْأَصْلِ
اسْمُ مَفْعُوْلِ الْفِعْلِ الْمُضَعَّفِ وَهُوَ حَمَّدَ بِتَشْدِيْدِ الْمِيْمِ.
وَمَحَلُّ قَوْلِهِمْ: "الْعَلَمُ لَا يُنْعَتُ بِهِ" إِذَا كَانَ جَامِدًا
أَوْ مُشْتَقًّا وَلَمْ يُنْظَرْ لِأَصْلِهِ. (وَ) عَلَى (الْآلِ) هُوَ
اسْمُ جَمْعٍ لَا وَاحِدَ لَهُ مِنْ لَفْظِهِ، وَأَصْلُهُ أَوَلٌ كَجَمَلٍ بِدَلِيْلِ
تَصْغِيْرِهِ عَلَى أُوَيْلٍ. (وَ) عَلَى (الْأَصْحَابِ) هُوَ جَمْعٌ
لِصَحِبٍ بِكَسْرِ الْحَاءِ مُخَفَّفُ صَحْبٍ بِسُكُوْنِهَا، أَوْ مُخَفَّفُ صَاحِبٍ
بِحَذْفِ الْأَلِفِ، وَلَيْسَ جَمْعًا لِصَحْبٍ بِسُكُوْنِ الْحَاءِ لِأَنَّهُ لَمْ
يَطَّرِدْ جَمْعُ فَعْلٍ بِسُكُوْنِ الْعَيْنِ عَلَى أَفْعَالٍ إِلَّا إِذَا كَانَ
مُعْتَلَّ الْعَيْنِ كَثَوْبٍ وَأَثْوَابٍ وَبَابٍ وَأَبْوَابٍ، وَلَا لِصَاحِبٍ بِالْأَلِفِ
لِأَنَّهُ لَمْ يَطَّرِدْ جَمْعُ فَاعِلٍ بِالْأَلِفِ عَلَى أَفْعَالٍ.
(yaitu Muhammad). Pada lafal “muḥammad” boleh tiga macam i‘rab, tetapi tulisan
(yang ada) tidak mendukung dibaca naṣab, kecuali menurut cara orang yang
menulis lafal yang dinasabkan (sama) dengan bentuk lafal yang dirafa’kan dan dijarkan.
Yang paling baik dari ketiganya adalah (dibaca) jar, menjadi badal atau aṭaf
bayān, bukan menjadi na‘at, karena lafal “muḥammad” adalah isim ‘alam, dan isim
‘alam tidak bisa dijadikan na‘at. Memanglah demikian. Namun lafal “muḥammad”
(di sini) sah menjadi na‘at dengan memandang asalnya, karena ia menurut asalnya
adalah isim maf‘ūl dari fi‘il yang digandakan (‘ain fi‘ilnya), yaitu “ḥammada” dengan tasydid mim. Ketetapan perkataan:
“isim ‘alam tidak bisa dijadikan na‘at” yaitu bila ia berupa isim jamid atau
isim musytaq namun tidak dipandang asal isim musytaq tersebut.
(dan) atas (keluarga). Lafal “al-āli” adalah isim
jamak, tidak memiliki bentuk mufrad dari segi lafalnya. Asalnya yaitu “awal”,
seperti halnya lafal “jamal”, dengan bukti bentuk taṣgirnya yaitu “uwail”.
(dan) atas (para sahabat). Lafal “al-aṣḥāb” adalah
bentuk jamak bagi lafal “ṣaḥib” (dibaca kasrah ḥa’-nya), yang merupakan bentuk
takhfif bagi lafal “ṣaḥb” (dibaca sukun ḥa’-nya), atau bentuk takhfif bagi
lafal “ṣāḥib” dengan membuang huruf alifnya. Lafal “al-aṣḥāb” bukan bentuk
jamak bagi lafal “ṣaḥb” (dibaca sukun ḥa’-nya), karena tidak ditemukan menjamakkan
wazan “fa‘lun” (dibaca sukun ‘ain-nya) atas wazan “af‘ālun”, kecuali bila
berhuruf ‘illat ‘ain-nya, seperti: “ṡaubun” menjadi “aṡwābun” dan “bābun” menjadi
“abwābun”. Dan bukan pula (bentuk jamak) bagi lafal “ṣāḥib” (dengan alif),
karena tidak ditemukan (pula) menjamakkan wazan “fā‘ilun” (dengan alif) atas wazan
“af‘ālun”.
وَقَدْ أَبْدَلَ النَّاظِمُ مِنَ الْآلِ وَالْأَصْحَابِ
قَوْلَهُ: (مَنْ) أَيْ الَّذِيْنَ (أَتْقَنُوْا) أَيْ أَحْكَمُوْا (الْقُرْآنَ) مِنَ
الْقَرْءِ وَهُوَ الْجَمْعُ، وَمَعْنَاهُ: الْكَلَامُ الْمُنَزَّلُ عَلَى سَيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَعَبَّدُ بِتِلَاوَتِهِ الْمُتَحَدِّيْ
بِأَقْصَرِ سُوْرَةٍ مِنْهُ، (بـِـ)سَبَبِ (الْإِعْرَابِ)، إِذْ لَوْلَا الْإِعْرَابُ
لَمْ يُعْلَمِ الْمُرَادُ. وَلِذَا حُكِيَ أَنَّ سَبَبَ وَضْعِ النَّحْوِ أَنَّ أَعْرَابِيًّا
قَدِمَ فِيْ زَمَنِ عُمَرَ فَقَالَ: مَنْ يُقْرِئُنِيْ مِمَّا أَنْزَلَ اللهُ عَلَى
مُحَمَّدٍ؟ فَأَقْرَأَهُ رَجُلٌ بَرَاءَةً، فَقَالَ: أَنَّ اللهَ بَرِيْءٌ مِّنَ
الْمُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلِهِ -بِالْجَرِّ-، فَقَالَ الْأَعْرَابِيُّ: أَوَقَدْ بَرِئَ
مِنْ رَسُوْلِهِ؟ إِنْ يَكُنِ اللهُ بَرِئَ مِنْ رَسُوْلِهِ فَأَنَا أَبْرَأُ مِنْهُ.
فَبَلَغَ عُمَرَ مَقَالُ الْأَعْرَابِيِّ فَدَعَاهُ وَقَالَ: يَا أَعْرَابِيُّ، أَتَبْرَأُ
مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَصَّ عَلَيْهِ الْقِصَّةَ،
فَقَالَ عُمَرُ: لَيْسَ هٰكَذَا
يَا أَعْرَابِيُّ. فَقَالَ: كَيْفَ هِيَ يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ؟ فَقَالَ: ﴿
أَنَّ اللهَ بَرِيْءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلُهُ ﴾ بِالرَّفْعِ. فَقَالَ
أَعْرَابِيٌّ: وَأَنَا وَاللهِ أَبْرَأُ مِمَّا بَرِئَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ مِنْهُ.
فَأَمَرَ عُمَرُ أَنْ لَا يَقْرَأَ الْقُرْآنَ إِلَّا عَالِمٌ بِاللُّغَةِ، وَأَمَرَ
أَبَا الْأَسْوَدِ الدُّؤَلِيَّ بِوَضْعِ النَّحْوِ. وَلَا يَخْفَى مَا فِي ذِكْرِ
النَّحْوِ وَضَمِيْرِ الشَّأْنِ وَالْإِعْرَابِ مِنْ بَرَاعَةِ الْاِسْتِهْلَالِ،
وَهِيَ أَنْ يَأْتِيَ الْمُتَكَلِّمُ فِي طَالِعَةِ كَلَامِهِ بِمَا يُشْعِرُ بِمَقْصُوْدِهِ.
Penyusun naẓam menjadikan perkataan “man” sebagai badal
dari lafal “al-āli wal- al-aṣḥābi”. (Orang-orang yang menguatkan al-Qur’an).
Lafal “al-qur’an” berasal dari lafal “al-qar’i” artinya
mengumpulkan/menghimpun. Arti al-Qur’an yaitu kalam Allah yang diturunkan
kepada penghulu kita Muhammad Saw., yang dijadikan ibadah membacanya, dan yang menantang
(orang kafir) untuk membuat satu surah terpendek dari al-Qur’an.
(dengan)
sebab (i‘rab). Karena, jika tidak ada i‘rab maka tidak dapat diketahui
maksudnya. Karena itulah ada diceritakan bahwa sebab tercetus/lahirnya ilmu
nahwu yaitu bahwa di zaman Umar datang seorang a‘rabi, lalu berkata: “Siapa
yang bisa membacakan kepadaku sebagian ayat yang Allah turunkan kepada
Muhammad?” Maka seorang laki-laki membacakan kepadanya surah Bara’ah/At-Taubah,
lalu membaca: “annallāha barī’un minal-musyrikīna wa rasūlihi” dengan
mengkasrahkan huruf lam. A‘rabi pun berkata: “Apakah Allah telah berlepas dari
rasul-Nya? Jika Allah telah berlepas dari rasul-Nya maka aku pun akan berlepas
darinya”. Maka sampailah kepada Umar perkataan a‘rabi tersebut, lalu Umar
memanggilnya dan berkata: “Wahai a‘arabi!
Apakah engkau akan berlepas dari Rasulullah Saw.? Maka a‘rabi pun
menceritakan kejadiannya kepada Umar. Lalu Umar berkata: “Tidaklah demikian,
wahai a‘rabi”. A‘rabi pun bertanya: “Bagaimana ayat yang sebenarnya, wahai Amīral
Mu’minīn?” Umar menjawab: “annallāha barī’un minal-musyrikīna wa rasūluhu”
dengan merafa’kan huruf lam. A‘rabi berkata: “Aku, demi Allah, berlepas dari
sesuatu yang Allah dan rasul-Nya telah berlepas darinya”. Maka Umar
memerintahkan agar tidak membaca al-Qur’an kecuali orang yang mengetahui bahasa
Arab, dan beliau memerintahkan Abul Aswad ad-Duali untuk membuat/menyusun ilmu
nahwu.
Tidak samar lagi (bahwa) pada penyebutan “naḥwi”, “ḍamir sya’n”, dan “i‘rāb” terdapat barā’atul istihlāl, yaitu bahwa mutakallim di muqaddimah
perkataannya mencantumkan sesuatu yang mengisyaratkan tentang tujuan/isinya.
Komentar
Posting Komentar